Omong Kosong Mencegah Korupsi (2)

Tidak usahlah menyebut skandal Bank Century yang penuh kontroversi itu. Pengadilan sejumlah politisi dari berbagai partai politik dalam kasus suap pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia, sudah cukup merasuk kesadaran politik rakyat: dunia politik kita memang berlimbah aksi korupsi.

Sejak dua bulan lalu, pengungkapan kasus suap pembangunan Wisma Atlet Sea Games di Kemenpora, menjadi berita besar dan mengundang komentar para politisi besar. Mereka seakan risih dan malu menghadapi aib para kader partai politik ini. Mereka berseru-seru, para pelaku harus ditindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Tentu seruan mereka benar adanya. Nazaruddin dkk harus diproses hukum oleh KPK yang sedari awal menangkap tangan aksi suap itu. Tetapi, apakah mereka berniat melangkah lebih jauh agar kasus serupa tidak terulang dan terulang lagi? Apakah mereka mempunyai visi untuk membersihkan dunia politik dari uang haram?

Jawabannya, ternyata tidak!

Memang, Presiden SBY yang juga 'pemilik' Partai Demokrat berkali-kali menyerukan agar dunia politik bersih dari permainan uang. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal juga tak kalah keras bersuara soal ini. Apalagi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Ketua-ketua umum partai lain idem ditom: bersihkan dunia politik dari uang haram!

Tetapi, apakah mereka pernah memerintahkan kepada anak buahnya di DPR agar membuat kebijakan (yang diformat dalam bentuk undang-undang) untuk mencegah politik uang di dunia politik?

Jawabnya, tidak sama sekali!

Pada saat pembahasan RUU Perubahan UU No 2/2008 tentang Partai Politik (yang kemudian disahkan menjadi UU No 2/2011) awal tahun ini, tidak ada satu pun partai politik yang usul untuk memperbaiki pengaturan pengelolaan dana partai politik secara lebih transparan dan akuntabel. "Tidak mungkin kami menjebak diri sendiri," kata salah satu perancang undang-undang.

Bukankah para pimpinan partai politik selalu menyerukan politik bersih? "Ya, membangun citra berpolitik bersih atau berpartai bersih tidak hanya monopoli Presiden SBY atau PKS. Semua partai melakukannya, setidaknya dalam pernyataan. Jangan tanya soal kenyataan. Inilah riil politik," katanya lagi.

Oke, itu awal tahun lalu. Yang lalu biarlah berlalu. Kini ada kesempatan datang kembali. Saat ini Badan Legislasi DPR tengah menggodok RUU Perubahan UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, bersamaan dengan keprihatinan mendalam atas pengadilan politisi Senayan dan sangkaan Nazaruddin dkk.

Namun apa yang terjadi? Momentum ini sekali lagi dibiarkan berlalu. Para politisi 9 partai politik di Baleg DPR, sama sekali tidak mengubah pasal-pasal pengelolaan dana kampanye pemilu. Mereka membiarkan saja, karena pasal-pasal tersebut memang tidak mengharuskan partai peserta pemilu untuk berlaku transpra dan akuntabel.

Fraksi-fraksi justru sibuk berdebat soal ambang batas perwakilan untuk mendapatkan kursi di DPR/DPRD (parliamentary threshold). Mereka saling ngotot mempertahankan posisi masing-masing. Partai besar ingin threshold tinggi (5%) agar mendapat krusi lebih banyak; partai menengah kecil ingin threshold rendah (2,5%) agar tetap bisa bertahan di kursinya.

Ada soal lain yang diributkan, yaitu soal besaran kursi daerah pemilihan (district magnitude). Partai besar ingin jumlah kursi diperkecil dari 3-10 menjadi 2-6; partai menengah-kecil ingin bertahan dengan aturan lama. Juga soal formula penghitugan perolehan kursi: mau selesai di daerah pemilihan, atau ditarik ke provinsi; mau menggunakan metode kuota atau metode divisor.

Soal pengatruan pengelolaan dana kampanye? Tidak ada yang mau tahu!

Apakah itu berarti para pemimpin partai politik kita sudah bermental korup dari sononya? Atau, mereka sudah tidak berdaya menghadapi situasi koruptif yang melingkupinya? Apa pun jawabnya, hasilnya sama: korupsi di wilayah politik akan terus merajalela. Dan merekalah yang secara moral paling bertanggung jawab atas tidak tercegahnya situasi ini!

Didik Supriyanto 
adalah wartawan detikcom

Sumber: www.detiknews.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...