Untuk lebih 'mengefektifkan' program subsidi bahan bakar minyak (BBM),  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) pernah berencana  menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI). Rencana bentuk kerjasama  antara KESDM dengan MUI ini adalah KESDM mengharap agar MUI mengeluarkan  fatwa tentang hemat energi termasuk di dalamnya terkandung ketentuan  bahwa masyarakat yang mampu atau kaya tidak boleh mengkonsumsi BBM  bersubsidi.
Keinginan KESDM ini awalnya disambut oleh salah  seorang tokoh MUI. Ia bersedia mengeluarkan fatwa yang demikian, sebab  dilandasi bahwa BBM bersubsidi adalah hak orang yang tidak mampu. Jadi  jika ada orang yang mampu atau kaya, tapi tetap membeli BBM bersubsidi,  hukumnya dosa, karena ia mengambil hak orang yang tidak mampu. Substansi  BBM bersubsidi adalah diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak mampu.  Adapun bagi masyarakat yang mampu, pemerintah sudah menyediakan BBM  nonsubsidi, seperti pertamax. Fatwa ini kelak akan disosialisasikan di  masjid, pesantren, majelis taklim, serta lembaga pendidikan secara  nasional.
Sebab diprotes oleh banyak pihak akhirnya rencana kerja  sama antara KESDM dan MUI itu ditangguhkan. Terlepas jadi atau tidak  terhadap fatwa tersebut, fatwa-fatwa MUI dan ulama lainnya selama ini  ternyata kurang efektif dampak hukumnya. Keluarnya fatwa para ulama  biasanya terjadi ketika permasalahan-permasalahan sosial yang muncul  tidak ditanggapi atau tidak dipedulikan oleh masyarakat luas.
Namun  fatwa juga bisa keluar karena untuk mendukung sikap pemerintah bahkan  lembaga-lembaga tertentu. Di saat zaman Orde Baru, terlihat fatwa-fatwa  yang ada sering menjadi legitimasi kekuasaan Suharto. Namun selama ini  karena aspek fatwa hanya lebih mengedepankan moral, baik melawan buruk  tanpa melihat akar masalahnya dan tanpa dilihat aspek secara menyeluruh,  sehingga fatwa itu tak ubahnya seperti khotbah-khotbah semata, yakni  didengar ketika khotbah berlangsung namun tidak dilakukan ketika khotbah  itu selesai.
Apa faktor yang menyebabkan fatwa ulama itu tidak  efektif? Faktornya adalah, pertama, Indonesia bukan negara para ulama,  mullah atau negara yang berdasarkan hukum Islam. Bila negara yang  mengacu ulama sebagai sumber hukum maka ucapan-ucapan para ulama itu  menjadi hukum positif sehingga implementasinya di bawah dilaksanakan  oleh aparat dengan ketat. Misalnya di Iran, ulama atau mullah sebagai  salah satu sumber hukum maka fatwa-fatwa yang dikeluarkan akan  dijalankan oleh aparat penegak hukum, dan yang terbukti melanggar akan  dikenakan sanksi.
Demikian pula, di Aceh, sebagai salah satu  provinsi yang melaksanakan syariat, maka hukum-hukum yang berdasarkan  Islam dijalankan oleh polisi pamong praja, aparat pemerintahan daerah.  Misalnya ketentuan soal larangan pakaian minim, berzinah, atau hal-hal  yang melanggar hukum Islam, maka aturan itu ditegakkan oleh pemerintah  daerah dengan di lapangan dilaksanakan oleh polisi pamong praja.
Di  Indonesia secara keseluruhan menerapkan hukum didasari atas kesepakatan  antara pemerintah dengan DPR, sehingga dimensi hukum yang ada tidak  hanya dilandasi oleh faktor yang hanya mengedepankan moral (agama)  semata namun juga aspek lainnya. Hukum inilah yang dijadikan pegangan  dan rujukan. Bila ada permasalah hukum, yang dijadikan dasar  penyelesaian harus mengacu pada tata urutan hukum yang ada, bukan  mengacu pada fatwa. Sehingga sehebat apa pun fatwa, ia tidak bisa  dijadikan acuan hukum.
Kedua, sebab Indonesia negara yang  hukumnya tidak mengacu pada ulama, maka fatwa yang dikeluarkan itu  sering saling negasi dengan hukum formal. Ketika salah satu organisasi  keagamaan mengeluarkan fatwa haram merokok, fatwa itu sepertinya tidak  membuat perokok berhenti merokok. Faktornya, secara hukum formal,  misalnya peraturan daerah (perda) menyatakan tidak akan memberi sangsi  perokok bila ketahuan merokok, hanya mengatur tempat merokok saja.  Selain itu, pemerintah sendiri tidak melarang peredaran rokok dan iklan  rokok. Jadi di sini ada hubungan yang saling menegasi antara fatwa  dengan hukum formal. Kemudian perokok merasa bahwa fatwa tidak akan  menjerat dirinya bila dirinya melanggar fatwa. Perokok merasa hukum  formallah yang bisa menindak dirinya.
Ketiga, fatwa yang  dikeluarkan oleh ulama biasanya melihat dari satu sisi semata, yakni  sisi negatifnya saja. Akibat dari melihat dari sisi negatifnya saja maka  sisi positif yang ada menjadi hilang. Misalnya saja ketika Forum  Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur di Pondok  Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, beberapa waktu lalu, yang  menyatakan bahwa facebook adalah haram. Alasan yang digunakan para ulama  yang adalah Kitab Bariqah Mahmudiyah halaman 7, Kitab Ihya' Ulumudin  halaman 99, Kitab Al-Fatawi Al-Fiqhiyyah Al-Kubra halaman 203, serta  sejumlah kitab dan tausyiyah dari ulama besar. Tentu apa yang dinyatakan  yang hanya melihat dari sisi negatif penggunaan facebook, sementara  sisi positifnya tidak dilihat.
Akibat dari penilaian secara  sepihak, maka diantara ulama sendiri terjadi ketidaksepakatan dalam soal  fatwa. Ketua MUI, H Amidhan, dalam masalah ini pernah mengatakan,  ulama-ulama dari Jawa Timur tersebut tidak termasuk dalam wadah MUI  pusat dan dalam masalah facebook, H Amidhan menyatakan, haramnya konten  dalam facebook berbeda dengan haramnya babi. Sementara Ketua MUI  Kalimantan Selatan Prof H Asywadie Syukur Lc berhati-hati dalam  menyatakan keberadaan facebook itu boleh atau tidak.
Keempat,  fatwa dari ulama tidak menimbulkan efek jera atau tidak efektif karena  ada kecurigaan bahwa fatwa yang ada merupakan sebuah pesanan dengan  imbalan dana kepada ulama. Tentu MUI tidak akan mengeluarkan fatwa  tentang soal hemat energi bila tidak didekati oleh KESDM. Tentu KESDM  tidak datang dengan tangan hampa, pastinya ada hal-hal yang dijanjikan  buat MUI ketika keputusan yang mendukung program KESDM difatwakan.
Demikian  pula soal fatwa haram merokok, lembaga yang mengeluarkan fatwa itu  disebut-sebut menerima dana dari organisasi internasional yang bergerak  di bidang anti rokok. Di sini menunjukan bahwa ulama tidak tulus dan  ikhlas ketika mengeluarkan fatwa.
Ardi Winangun 
adalah pengurus presidium nasional Masika ICMI
Sumber: www.detiknews.com 
