Tidak usahlah menyebut skandal Bank Century yang penuh kontroversi  itu. Pengadilan sejumlah politisi dari berbagai partai politik dalam  kasus suap pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia, sudah cukup merasuk  kesadaran politik rakyat: dunia politik kita memang berlimbah aksi  korupsi.
Sejak dua bulan lalu, pengungkapan kasus suap  pembangunan Wisma Atlet Sea Games di Kemenpora, menjadi berita besar dan  mengundang komentar para politisi besar. Mereka seakan risih dan malu  menghadapi aib para kader partai politik ini. Mereka berseru-seru, para  pelaku harus ditindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Tentu  seruan mereka benar adanya. Nazaruddin dkk harus diproses hukum oleh  KPK yang sedari awal menangkap tangan aksi suap itu. Tetapi, apakah  mereka berniat melangkah lebih jauh agar kasus serupa tidak terulang dan  terulang lagi? Apakah mereka mempunyai visi untuk membersihkan dunia  politik dari uang haram?
Jawabannya, ternyata tidak!
Memang,  Presiden SBY yang juga 'pemilik' Partai Demokrat berkali-kali  menyerukan agar dunia politik bersih dari permainan uang. Ketua Umum  Partai Golkar Aburizal juga tak kalah keras bersuara soal ini. Apalagi  Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Ketua-ketua umum partai lain  idem ditom: bersihkan dunia politik dari uang haram!
Tetapi,  apakah mereka pernah memerintahkan kepada anak buahnya di DPR agar  membuat kebijakan (yang diformat dalam bentuk undang-undang) untuk  mencegah politik uang di dunia politik?
Jawabnya, tidak sama sekali!
Pada  saat pembahasan RUU Perubahan UU No 2/2008 tentang Partai Politik (yang  kemudian disahkan menjadi UU No 2/2011) awal tahun ini, tidak ada satu  pun partai politik yang usul untuk memperbaiki pengaturan pengelolaan  dana partai politik secara lebih transparan dan akuntabel. "Tidak  mungkin kami menjebak diri sendiri," kata salah satu perancang  undang-undang.
Bukankah para pimpinan partai politik selalu  menyerukan politik bersih? "Ya, membangun citra berpolitik bersih atau  berpartai bersih tidak hanya monopoli Presiden SBY atau PKS. Semua  partai melakukannya, setidaknya dalam pernyataan. Jangan tanya soal  kenyataan. Inilah riil politik," katanya lagi.
Oke, itu awal  tahun lalu. Yang lalu biarlah berlalu. Kini ada kesempatan datang  kembali. Saat ini Badan Legislasi DPR tengah menggodok RUU Perubahan UU  No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, bersamaan dengan  keprihatinan mendalam atas pengadilan politisi Senayan dan sangkaan  Nazaruddin dkk.
Namun apa yang terjadi? Momentum ini sekali lagi  dibiarkan berlalu. Para politisi 9 partai politik di Baleg DPR, sama  sekali tidak mengubah pasal-pasal pengelolaan dana kampanye pemilu.  Mereka membiarkan saja, karena pasal-pasal tersebut memang tidak  mengharuskan partai peserta pemilu untuk berlaku transpra dan akuntabel.
Fraksi-fraksi  justru sibuk berdebat soal ambang batas perwakilan untuk mendapatkan  kursi di DPR/DPRD (parliamentary threshold). Mereka saling ngotot  mempertahankan posisi masing-masing. Partai besar ingin threshold tinggi  (5%) agar mendapat krusi lebih banyak; partai menengah kecil ingin  threshold rendah (2,5%) agar tetap bisa bertahan di kursinya.
Ada  soal lain yang diributkan, yaitu soal besaran kursi daerah pemilihan  (district magnitude). Partai besar ingin jumlah kursi diperkecil dari  3-10 menjadi 2-6; partai menengah-kecil ingin bertahan dengan aturan  lama. Juga soal formula penghitugan perolehan kursi: mau selesai di  daerah pemilihan, atau ditarik ke provinsi; mau menggunakan metode kuota  atau metode divisor.
Soal pengatruan pengelolaan dana kampanye? Tidak ada yang mau tahu!
Apakah  itu berarti para pemimpin partai politik kita sudah bermental korup  dari sononya? Atau, mereka sudah tidak berdaya menghadapi situasi  koruptif yang melingkupinya? Apa pun jawabnya, hasilnya sama: korupsi di  wilayah politik akan terus merajalela. Dan merekalah yang secara moral  paling bertanggung jawab atas tidak tercegahnya situasi ini!
Didik Supriyanto 
adalah wartawan detikcom 
Sumber: www.detiknews.com
 
