Maraknya kasus korupsi yang melibatkan para politisi semakin  menegaskan, wilayah politik memang jadi ajang utama menjarah harta  negara. Memang aksi jual beli perkara yang melibatkan polisi, jaksa dan  hakim, tidak kalah marak. Namun kerusakan dunia hukum itu, jangan-jangan  merupakan akibat lanjut ulah para politisi juga?
Perhatikan:  semua hakim agung dipilih oleh DPR; demikian juga seorang jenderal  polisi tak mungkin jadi kapolri jika tidak di-acc DPR. Jaksa agung  memang menjadi hak presiden untuk mengangkatnya. Tetapi siapa percaya  presiden bebas dari pengaruh politisi-politisi di sekitarnya.
Jika  memang demikian, bagaimana membersihkan dunia politik dari para  politisi berwatak buruk? Inilah masalahnya besarnya! Sebab untuk  membebasakan wilayah politik dari para politisi buruk diperlukan  seperangkat kebijakan. Celakanya, kebijakan itu merupakan kewenangan  mereka.
Jadi, kalau mereka tidak mempunyai kesadaran pikiran,  tidak memiliki kesungguhan hati, tidak ada kehendak bersama melawan  korupsi, ya pilihannya cuman satu: menuggu rakyat marah. Atau Republik  ini dibiarkan terperosok jauh ke dunia tak beradab sehingga menjadi  negara gagal.
Apa boleh buat, kritik sekeras petasan dan demo  sebesar air bah, tak menggoyahkan para politisi untuk bergerak maju.  Memang ada beberapa politisi baik, yang berkeras memerangi korupsi.  Tetapi jumlah mereka tidak seberapa, posisi mereka pun hanya anggota  fraksi yang harus tunduk pada kebijakan partai, yang dikendalikan  beberapa gelintir orang di puncak partai.
Segelintir orang itu  selalu bicara soal moral bangsa, berpidato tentang Pancasila. Mereka  juga berkali-kali umbar janji memerangi korupsi. Apa yang dilakukannya?  Tidak ada. Para politisi yang berintegritas rendah tetap dipelihara.  Mereka yang pintar setor uang ke partai ditematkan di posisi strategis,  tanpa mau tahu mereka itu mendapatkan uang dari mana dengan cara apa.
Jauh  panggang dari api. Semua pimpinan puncak partai politik, baik yang di  kubu pemerintah maupun di kubu oposisi, berkoar-koar mencegah politik  uang. Tetapi tidak ada langkah nyata. Beberapa momen untuk membuat  kebijakan mencegah politik uang, dilewatkan begitu saja.
Tahun  lalu DPR dan pemerintah mengesahkan UU No 2/2011 tentang partai politik,  yang merupakan perubahan atas UU No 2/2008. Alih-alih membuat aturan  yang memaksa partai politik untuk trasparan dan akuntabel dalam  mengelola dana partai, mereka malah sepakat meningkatkan jumlah  sumbangan: perorangan Rp 1 miliar, perusahaan Rp 7,5 miliar.
Sebetulnya  tidak apa jumlah sumbangan perorangan maupun perusahaan dinaikkan.  Masalahnya undang-undang tidak secara jelas membedakan siapa perorangan,  dan siapa perusahaan! Anggota DPR bisa menyumbang sebanyak-banyaknya,  karena dia bisa mengelak bukan sebagai perorangan. Sementara, induk  perusahaan dan anak perusahaan bisa tumpang tindih memberikan sumbangan.
Undang-undang  lama mengharuskan negara untuk memberikan bantuan dana untuk  administrasi dan pendidikan politik. Namun lima tahun berlalu, dana  negara sudah mengucur, tetap saja tidak ada pertanggungjawaban. "Banyak  yang dibelikan kendaraan bermotor untuk ketua partai," kata seorang  fungsionaris partai. Lalu undang-undang baru minta tambahan bantuan.
Undang-undang  lama mengharuskan agar sistem pengelolaan dana partai diatur oleh  masing-masing partai melalui AD/ART partai. Kita bisa lacak AD/ART  partai politik satu per satu, dari partai besar ke partai kecil, dari  partai lama ke partai baru, dan dari partai 'bersih' ke partai 'jorok',  sama saja: tidak ada yang membuat aturan. "Urusan itu diserahkan kepada  pimpinan partai dan bendahara," kata seorang fungsionaris tanpa merasa  bersalah.
Itu baru satu aspek dari wilayah politik, yakni  pengelolaan dana politik. Kalau dari satu aspek yang berhubungan  langsung dengan masalah pengelolaan dana ini saja tidak jelas, maka  bagaimana dengan aspek lain yang lebih kompleks, yang secara langsung  atau tidak langsung berhubungan dengan peredaran uang. Tak terbayangkan!
Beberapa  bulan berselang, ketika media massa memberitakan maraknya politik uang  dalam proses penyelenggaraan pemilu, baik pemilu legislatif, pemilu  presiden maupun pemilu kada, Presiden berjanji akan mendorong KPU untuk  mengatasi masalah ini. Lah, bagaimana KPU mau mencegah politik uang, wong undang-undang mempersilakan. Benar-benar 'jaka sembung' deh.
Didik Supriyanto 
adalah wartawan detikcom 
Sumber: www.detiknews.com
