Thomas Djamaluddin Profesor Riset Astronomi-Astrofisika,  LAPANAnggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI(Publikasi di buku ilmiah “Matahari dan Lingkungan Antariksa”, Seri -4, 2010,  hlm. 67 – 76, Dian Rakyat, Jakarta)
Abstrak. Perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul  Fitri, dan Idul Adha di Indonesia kini sudah semakin jelas bukan  disebabkan oleh perbedaan metode hisab (perhitungan astronomi) dan  rukyat (pengamatan), tetapi oleh perbedaan kriteria. Saat ini sudah ada  kesadaran untuk menyamakan kriteria di antara ormas-ormas Islam. Untuk  itu kajian ilmiah perlu dilakukan untuk memberikan masukan alternatif  kriteria yang nantinya perlu dikaji untuk dipilih menjadi kriteria  tunggal yang disepakati. Makalah ini membahas beberapa alternatif  kriteria berdasarkan analisis data rukyat di Indonesia dan  internasional. Kriteria harus memperhatikan dalil-dalil syar’i yang  disepakati para ulama serta didasarkan pada kemudahan aplikasinya dan  kompatibilitas hisab – rukyat sehingga hisab dan rukyat bisa benar-benar  setara dalam pengambilan keputusan dalam sidang itsbat. Berdasarkan  analisis yang dibahas makalah ini diusulkan ”Kriteria Hisab-Rukyat  Indonesia” sebagai berikut: Jarak sudut bulan-matahari > 6,4
o dan beda tinggi bulan-matahari > 4
o.
Kata kunci: Kriteria visibilitas hilal, Hisab-Rukyat, Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia.
1. PendahuluanPersoalan perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha telah menjadi perhatian  masyarakat dan pemerintah. Walau saat ini perbedaan hari raya tidak  menimbulkan masalah serius, tetapi masalah tersebut selalu menimbulkan  ketidaktentraman di masyarakat. Jika tidak segera diatasi itu berpotensi  berdampak pada gangguan ekonomi dan sosial, karena menyangkut aktivitas  massal dalam skala luas. Satu sisi kemajuan teknologi informasi  membantu menyebarkan informasi ke seluruh penjuru dunia, pada sisi lain  teknologi itu juga dengan cepat menyebarkan keresahan ketika terjadi  perbedaan penetapan.
Perkembangan pemahaman astronomi kini telah memasuki semua lapisan  masyarakat, termasuk juga ormas-ormnas Islam yang memanfaatkannya untuk  penentuan awal bulan Islam, khususnya terkiat dengan penentuan awal  Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Momentum ini sangat baik untuk  digunakan dalam upaya mencari solusi perbedaan hari raya. Perdebatan  dalil syar’i (hukum agama) antarormas atau kelompok masyarakat yang  selama ini mendikhotomikan rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan)  cenderung tak terselesaikan karena masing-maisng menganggap dalil yang  diyakininya yang paling shahih dan kuat. Perdebatan semacam itu sudah  saatnya diakhiri dan cukup dijadikan khazanah keberagaman pemikiran  hukum. Sebaliknya, pemahaman astronomi yang semakin luas perlu terus  dibangun untuk mencari titik temu antarormas tanpa mempermasalahkan  perbedaan rujukan dalil syar’i.
Dengan pemahaman astronomi yang lebih baik, hisab dan rukyat tidak  perlu dipertentangkan lagi, karena keduanya saling melengkapi. Hanya  persoalannya adalah cara mempersatukan hisab dan ruyat tersebut.  Secara  astronomi  hisab dan rukyat mudah dipersatukan dengan menggunakan  kriteria visibilitas hilal (ketampakan bulan sabit pertama) atau 
imkanur rukyat  (kemungkinan bisa dilihat). Kriteria itu didasarkan pada hasil rukyat  jangka panjang yang dihitung secara hisab, sehingga dua pendapat hisab  dan rukyat dapat terakomodasi. Kriteria itu digunakan untuk menghindari  rukyat yang meragukan dan digunakan untuk penentuan awal bulan  berdasarkan hisab. Dengan demikian diharapkan hasil hisab dan rukyat  akan selalu seragam. Makalah ini mengkaji berbagai kriteria visibilitas  hilal di Indonesia dan internasional untuk digunakan sebagai dasar  penyusunan kriteria tunggal hisab rukyat di Indonesia.
2. Pokok Masalah Perbedaan Hari RayaPerbedaan hari raya yang sering terjadi belakangan ini lebih  disebabkan oleh penggunaan kriteria yang tidak seragam. Baik para  penganut hisab maupun rukyat pada dasarnya mereka menggunakan kriteria  penentuan awal bulan. Di kalangan ormas penganut hisab ada perbedaan:  Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal (hilal wujud di atas  ufuk) dengan prinsip wilayatul hukmi (wujud di sebagian wilayah   diberlakukan untuk seluruh wilayah hukum di seluruh Indonesia),  sedangkan Persatuan Islam (Persis) menggunkan kriteria wujudul hilal di  seluruh Indonesia (sebelumnya menggunakan kriteria imkanur rukyat 2
o).  Di kalangan ormas penganut rukyat (terutama Nahdlatul Ulama, NU) kadang  terjadi perbedaan ketika ada yang melaporkan hasil rukyat padahal  ketinggian hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyat yang mereka  gunakan, yaitu ketinggian hilal 2 derajat.
Ketika ketinggian hilal positif, tetapi kurang dari atau sekitar 2  derajat potensi terjadinya perbedaan hari raya sangat terbuka. Tabel  2.1. menunjukkan ketinggian hilal pada awal Ramadhan, Syawal (Idul  Fitri), dan Dzulhijjah (untuk penentuan Idul Adha) saat terjadinya  perbedaan pada beberapa tahun lalu dan potensi pada beberapa tahun  mendatang. Itu menunjukkan bahwa persoalan perbedaan awal Ramadhan dan  hari raya kadang muncul dan berpotensi menimbulkan masalah sosial. Maka  hal utama yang harus diupayakan adalah memformulasikan kriteria tunggal  yang dapat digunakan oleh semua ormas Islam dan pemerintah (yang secara  teknis dilakukan oleh Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama).
Tabel 2.1.
Bulan-Bulan Rawan Terjadi Perbedaan
 | Tahun(Hijriyah/Masehi) |  Derajat Tinggi Bulan di Bandung pada Awal Bulan |  
 | Ramadhan |  Syawal |  Dzulhijjah |  
 | 1422/2001-2002 |  1,7 |  
  |  2,5 |  
 | 1423/2002-2003 |  
  |  1,2 |  1,3 |  
 | 1427/2006 |  
  |  0,9 |  
  |  
 | 1428/2007 |  
  |  0,7 |  
  |  
 
  |  
  |  
  |  
  |  
 | 1431/2010 |  
  |  
  |  1,7 |  
 | 1432/2011 |  
  |  2,0 |  
  |  
 | 1433/2012 |  2,0 |  
  |  
  |  
 | 1434/2013 |  0,7 |  
  |  
  |  
 | 1435/2014 |  0,8 |  
  |  0,8 |  
 
3. Kriteria Visibilitas Hilal InternasionalKriteria visibilitas hilal merupakan kajian astronomi yang terus  berkembang, bukan sekadar untuk keperluan penentuan awal bulan qamariyah  (lunar calendar) bagi ummat Islam, tetapi juga merupakan tantangan  saintifik para pengamat hilal. Dua aspek penting yang berpengaruh:  kondisi fisik hilal akibat iluminasi (pencahayaan) pada bulan dan  kondisi cahaya latar depan akibat hamburan cahaya matahari oleh atmosfer  di ufuk (horizon).
Kondisi iluminasi bulan sebagai prasyarat terlihatnya hilal pertama  kali diperoleh Danjon (1932, 1936, di dalam Schaefer, 1991) yang  berdasarkan ekstrapolasi data pengamatan menyatakan bahwa pada jarak  bulan-matahari < 7
o hilal tak mungkin terlihat. Batas 7
o  tersebut dikenal sebagai limit Danjon. Dengan model, Schaefer (1991)  menunjukkan bahwa limit Danjon disebabkan karena batas sensitivitas mata  manusia yang tidak bisa melihat cahaya hilal yang sangat tipis. Pada  Gambar 3.1 Schaefer (1991) menunjukkan bahwa kecerlangan total sabit  hilal akan semakin berkurang dengan makin dekatnya bulan ke matahari.  Pada jarak 5
o kecerlangan di pusat sabit hanya 10,5 magnitudo, sedangkan di ujung tanduk sabit pada posisi 50
o  kecerlangannya hanya 12 magnitudo. Pada batas sensitivitas mata  manusia, sekitar magntitudo 8, hilal terdekat dengan matahari berjarak  sekitar 7,5
o. Pada jarak tersebut hanya titik bagian tengah  sabit yang terlihat. Untuk jarak yang lebih jauh dari matahari busur  sabit yang terlihat lebih besar, misalnya pada jarak 10
o busur sabit sampai sekitar 50
o dari pusat sabit ke ujung tanduk sabit (cusps).

Gambar 3.1. Kurva kuat cahaya sabit bulan. Semakin dekat ke arah  matahari (dinyatakan dalam derajat di masing-masing kurva), kuat cahaya  semakin redup (angka magnitudonya semakin besar), dan semakin ke arah  tanduk sabit (Cusps) juga semakin redup.
Pada Gambar 3.2. ditunjukkan perbandingan hasil model dan  ekstrapolasi empiris limit Danjon (Schaefer, 1991) dengan limit jarak  terdekat bulan-matahari (sun-moon angle) sekitar 7
o. Hasil  model tersebut menunjukkan bahwa batasan limit Danjon disebabkan oleh  batas sensitivitas mata manusia. Oleh karenannya sangat mungkin untuk  mendapatkan limit Danjon yang lebih rendah dengan meningkatkan  senitivitas detektornya, misalnya dengan menggunakan alat optik seperti  yang diperoleh oleh Odeh (2006) yang mendapatkan limit Danjon 6,4
o.

Gambar 3.2. Perbandingan limit Danjod dari hasil ekstrapolasi  pengamatan dibandingkan dengan model (Schaefer, 1991). Ekstrapolasi  jarak sudut bulan-matahari (
Sun-Moon Angle) pada besar busur hilal (
crescent arc length) 0
o merupakan limit Danjon sekitar 7
o.
Beberapa peneliti membuat kriteria berdasarkan beda tinggi  bulan-matahari dan beda azimutnya. Ilyas (1988) memberikan kriteria  visibilitas hilal dengan beda tinggi minimal 4
o untuk beda azimut yang besar dan 10,4
o untuk beda azimut 0
o  (lihat Gambar 3.3). Sedangkan Caldwell dan Laney (2001) memisahkan  pengamatan mata telanjang dan dengan bantuan alat optik. Pada Gambar 3.4  Caldwell dan Laney memberikan kriteria beda tinggi minimum 4
o untuk semua cara pengamatan pada beda azimut yang besar dan beda tinggi minimum sekitar 6,5
o untuk beda azimut 0
o untuk pengamatan dengan alat optik. Beda tinggi minimum untuk beda azimut 0
o identik dengan limit Danjon dengan alat optik (Odeh, 2006).

Gambar 3.3. Ilyas (1988) memberikan criteria visibilitas hilal dengan 
arc of light (beda tinggi bulan-matahari) bergantung pada beda azimuth dengan minimum 4
o untuk beda azimuth yang besar dan 10,4
o untuk beda azimuth 0
o.

Gambar 3.4. Dari data SAAO, Caldwell dan Laney (2001)  membuat  kriteria visibilitas hilal dengan memisahkan pengamatan dengan mata  telanjang (bulatan hitam) dan dengan alat bantu optik (bulanan putih).  Secara umum, syarat minimal beda tinggi bulan-matahari (dalt) > 4
o.
Kriteria visibilitas hilal dengan limit Danjon mendasarkan pada fisik  hilalnya, tanpa memperhitungkan kondisi kontras cahaya latar depan di  ufuk barat. Dengan memperhitungkan 
arc of light (beda tinggi  bulan-matahari), aspek kontras latar depan di ufuk barat sudah  diperhitungkan, tetapi aspek fisik hilal hanya secara tidak langsung  diwakili oleh beda azimut bulan-matahari yang di dalamnya mengandung  jarak sudut minimal bulan-matahari. Odeh melakukan pendekatan sedikit  berbeda dengan menggunakan aspek fisik hilal lebih khusus dengan  kriteria lebar sabit (W) dalam satuan menit busur (’) seperti  ditunjukkan pada Tabel 3.1, yang dipisahkan dengan alat optik (ARCV1),  dengan alat optik, tetapi masih mungkin dengan mata telanjang (ARCV2),  dan dengan mata telanjang (ARCV3).
Tabel 3.1. Kriteria Visibilitas Hilal Odeh (2006) dengan (1) alat  optik, (2) alat optik, masih mungkin dengan bata telanjang, atau (3)  dengan mata telanjang.
4. Kriteria Visibilitas Hilal IndonesiaBerdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI yang menjadi dasar  penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Djamaluddin (2000)  mengusulkan kriteria visibilitas hilal di Indonesia (dikenal sebagai  Kriteria LAPAN): (1). Umur hilal harus > 8 jam. (2). Jarak sudut  bulan-matahari harus > 5,6o. (3). Beda tinggi > 3o (tinggi hilal  > 2o) untuk beda azimut ~ 6o, tetapi bila beda azimutnya < 6o  perlu beda tinggi yang lebih besar lagi. Untuk beda azimut 0o, beda  tingginya harus > 9o (Lihat Gambar 4.1). Kriteria tersebut  memperbarui kriteria MABIMS yang selama ini dipakai dengan ketinggian  minimal 2o, tanpa memperhitungkan beda azimut.

Gambar 4.1. Kriteria visibilitas hilal berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI (Djamaluddin, 2000).
Kriteria tersebut sebenarnya lebih rendah dari kriteria visibilitas  hilal internasional yang dibahas di bagian 3. Tetapi, itu merupakan  kriteria sementara yang ditawarkan berdasarkan data yang tersedia  setelah mengeliminasi kemungkinan gangguan pengamatan akibat pengamatan  tunggal atau gangguan planet Merkurius dan Venus di horizon. Kriteria  itu akan disempurnakan dengan menggunakan data yang lebih banyak  sehingga tiga data terbawah kemungkinan akan terpencil secara statistik  sehingga dapat dihilangkan. Bila tiga data terbawah dihilangkan, maka  kriterianya akan sama dengan kriteria internasional. Data pengamatan di  sekitar Indonesia yang dihimpun RHI (Rukyatul Hilal Indonesia)  menunjukkan sebaran data beda tinggi bulan-matahari > 6
o (Sudibyo, 2009).
Untuk mendapatkan kriteria tunggal yang diharapkan menjadi rujukan  bersama semua ormas Islam dan pemerintah (Kementerian Agama RI), perlu  diusulkna kriteria yang dalam implementasinya tidak menyulitkan semua  pihak. Kriteria berbasis beda tinggi bulan-matahari dan beda azimut  bulan-matahari dianggap cocok karena telah dikenal oleh para pelaksana  hisab rukyat dan sekaligus menggambarkan posisi bulan dan matahari pada  saat rukyatul hilal. Tinggal yang harus dirumuskan adalah batasannya.
Dua aspek pokok yang harus dipertimbangkan adalah aspek fisik hilal  dan aspek kontras latar depan di ufuk barat. Karena kriteria ini akan  digunakan sebagai kriteria hisab-rukyat yang membantu menganalisis  mungkin tidaknya hasil rukyat dan menjadi kriteria penentu masuknya awal  bulan pada penentuan hisab, maka kriteria harus menggunakan batas  bawah.
Aspek fisik hilal bisa diambilkan dari limit Danjon dengan alat  optik, karena pada dasarnya saat ini alat optik selalu dipakai sebagai  alat bantu pengamatan. Limit Danjon 6,4
o dari Odeh dapat kita  pakai. Kriteria menggunakan lebar sabit yang digunakan Odeh (2006)  tampaknya kurang dikenal dikalangan pelaksana hisab rukyat di Indonesia,  sehingga kurang cocok untuk digunakan. Aspek kontras latar depan di  ufuk barat dapat menggunakan batas bawah beda tinggi bulan-matahari dari  Ilyas (1988), Caldwell dan Laney (2001), dan Sudibyo (2009), yaitu  minimal 4
o. Dengan demikian kriteria LAPAN (Djamaluddin,  2000) dapat disempurnakan menjadi “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia”  dengan kriteria sederhana sebagai berikut (lihat Gambar 4.2):
- Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o.
 
- Beda tinggi bulan-matahari > 4o.
 

Gambar 4.2. “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” diusulkan sebagai  kriteria tunggal hisab rukyat Indonesia. Dua kriteria berikut digunakan  bersama-sama: jarak matahari – bulan > 6,4
o dan beda tinggi bulan – matahari > 4
o.
5. PembahasanKriteria baru hisab rukyat yang tunggal (bisa disebut “Kriteria  Hisab-Rukyat Indonesia”) diperlukan agar menjadi rujukan pedoman  bersama. Kriteria baru tersebut semestinya sederhana dan aplikatif,  sehingga mudah digunakan oleh semua pelaksana hisab rukyat di  ormas-ormas Islam, pakar individu, maupun di Badan Hisab Rukyat (BHR)  sebagai badan kajian Kementerian Agama RI. Kriteria baru itu pun  sebaiknya tidak terlalu berbeda dengan kriteria hisab yang selama ini  dipakai untuk meminimalkan resistensi perubahan dari kriteria semula.  Kritera baru juga harus tetap merujuk pada hasil rukyat masa lalu di  Indonesia agar kriteria itu pun tidak lepas dari tradisi rukyat yang  mendasarinya dan kriteria itu dapat dianggap sebagai dasar pengambilan  keputusan berdasarkan “rukyat jangka panjang”, bukan sekadar rukyat  sesaat pada hari H. Dengan demikian, kalau pun ada penolakan rukyat yang  bertentangan dengan kriteria ini dapat dianggap sebagai penolakan  “rukyat sesaat” oleh “rukyat jangka panjang”. Sehingga resistensi para  penganut rukyat pun dapat diminimalisasi.
“Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” hanya merupakan penyempurnaan dari  kriteria MABIMS yang selama ini digunakan oleh BHR, kriteria tinggi  bulan 2
o yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), kriteria  wujudul hilal dengan prinsip wilayatul hukmi (setara dengan kriteria  tinggi bulan 0
o) yang digunakan Muhammadiyah, dan kriteria  wujudul hilal di seluruh Indonesia yang digunakan oleh Persatuan Islam  (Persis). Jangan sampai kriteria yang menjadi pedoman sekadar  berdasarkan interpretasi dalil syar’i tanpa landasan ilmiah astronomi  atau berdasarkan laporan rukyat lama yang kontroversial secara  astronomi, sehingga hanya akan menjadi ‘olok-olok’ komunitas astronomi  internasional terhadap kriteria yang digunakan di Indonesia.  Penyempurnaan pada “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dilakukan untuk  mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal  menurut kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab  mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi  juga interpretasi operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa  diterima bersama. Dengan kriteria bersama itu hisab dan rukyat tidak  didikhotomikan lagi, tetapi dianggap sebagai suatu yang saling  melengkapi. Kriteria ini pun harus dianggap sebagai kriteria dinamis  yang harus dievaluasi secara berkala (misalnya setuap 10 tahun) untuk  mengakomodasi perkembangan data pengamatan terbaru.
6. KesimpulanDengan menganalisis berbagai kriteria visibilitas hilal internasional  dan mengkaji ulang kriteria LAPAN (Djamaluddin, 2000) yang didasarkan  pada data rukyat di Indonesia yang dikompilasi oleh Kementerian Agama RI  dan data baru rukyat di wilayah sekitar Indonesia yang dihimpun  Rukyatul Hilal Indonesia (RHI), diusulkan kriteria baru “Kriteria  Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai kriteria tunggal hisab-rukyat di  Indonesia. “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai berikut:
- Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o.
 
- Beda tinggi bulan-matahari > 4o.
 
Kriteria baru tersebut hanya merupakan penyempurnaan kriteria yang  selama ini digunakan oleh BHR dan ormas-ormas Islam untuk mendekatkan  semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut kajian  astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan  yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi  operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama.
Daftar PustakaCaldwell, JAR and Laney, CD 2001, “First Visibility of the Lunar crescent”, African Skies, No. 5, p. 15-25.Djamaluddin, T. 2000, “Visibilitas Hilal di Indonesia”, Warta LAPAN, Vol. 2, No. 4, Oktober 2000, Hlm. 137 – 136.Ilyas, M. 1988, “Limiting Altitude Separation in the New Moon’s First  Visibility Criterion”, Astron. Astrophys. Vol. 206, p. 133 – 135.Sudibyo, MM, Arkanuddin, M., dan Riyadi, ARS 2009, “Observasi Hilaal  1427–1430 H (2007–2009 M) dan Implikasinya untuk Kriteria Visibilitas Di  Indonesia”, makalah pada Seminar Nasional: Mencari Solusi Kriteria  Visibilitas Hilal dan Penyatuan Kalendar Islam dalam Perspektif Sains  dan Syariah, Obs. Bosccha, 19 Desember 2009Odeh, MSH, 2006, “New Criterion for Lunar Crescent Visibility”, Experimental Astronomy, Vol. 18, p. 39 – 64.Schaefer, BE, 1991, “Length of the Lunar Crescent”, Q. J. R. Astr. Soc., Vol. 32, p. 265 – 277. Sumber: http://tdjamaluddin.wordpress.com