Kawah Freeport Papua
Hiruk pikuk politik yang dipertontonkan, skandal skandal besar yang banyak muncul kepermukaan, ditambah ekonomi rakyat yang nyaris tak ada perubahan membuat sebagian saudara kita memilih untuk merdeka, walaupun wacana untuk merdeka di beberapa daerah sudah menjadi isu lama namun dengan keadaan negara yang seperti ini, keinginan merdeka semakin kuat apalagi sekarang mata mereka tak lagi buta, papua yang kaya raya akan sumber daya alam nyaris tak tersentuh pembangunan, padahal berton ton emas dan tembaga dikeruk habis puluhan tahun, sebuah fenomena bahwa memang pemerintah kita berwatak penjajah.
Ketika mereka menuntut untuk merdeka, ancaman militer sebagai separatis harus mereka terima, dan Aceh pernah merasakan bagaiamana daerah itu menjadi sebuah Daerah operasi Militer yang konon menghilangkan ratusan rakyat aceh selama masa itu diberlakukan.
Ancaman penduduk perbatasan Indonesia malaysia untuk mengibarkan bendera malaysia adalah wujud protes bahwa mereka butuh perhatian, dan bukan tidak mungkin mereka memilih menjadi warga negara malaysia daripada menjadi warga negara Indonesia walaupun di cap tak memiliki jiwa nasionalisme, bagi mereka nasionalisme tidaklah penting, yang utama adalah mereka hidup layak sebagai rakyat.
Indonesia memang harus di format ulang, baik grand designnya, misi dan visinya maupun tata kelola negaranya. Memang menghilangkan watak sebagai negara penjajah tidak mudah, apalagi ratusan tahun negeri ini di bawah pemerintahan penjajah belanda yang dikenal sebagai penjajah kemaruk yang mengesampingkan kemakmuran negeri negeri jajahannya.
Jiddan
Mengapa Kades Yusak Mengancam Kibarkan Bendera Malaysia pada HUT Kemerdekaan RI di Perbatasan?
history.blogspot.com
Menjelang perayaan HUT kemerdekaan RI  pada 17 Agustus 2011 nanti, Sang Saka Merah Putih sudah mulai terlihat  berkibar di kampung-kampung di wilayah perbatasan Kalimantan Barat  dengan Malaysia, khususnya di Kabupaten Kapuas Hulu. Ditanya soal rasa  nasionalisme: penduduk perbatasan, sejauh pengamatan saya selama ini,  masih merasa bangga menjadi bagian dari NKRI. Bagi mereka, secara  prinsip: NKRI masih sebuah harga mati.
Akan tetapi, sebuah kasus malah mencuat  belakangan ini dan telah diberitakan oleh beberapa media bahwa Yusak,  Kepala Desa Mungguk Gelombang, Kecamatan Ketungai Tengah, Kabupaten  Sintang, mengancam untuk mengibarkan bendera Malaysia di perbatasan pada  HUT Kemerdekaan RI nanti. Bahkan Yusak, akan mengajak warganya untuk  menjadi warga negara Malaysia.
Ancaman Yusak ini melahirkan berbagai  tanggapan baik di tingkat pusat, propinsi maupun daerah. Semuanya  seolah-olah baru tersadar dari tidur panjang seperti kambing kebakaran  jenggot, ketika muncul ancaman separatis. Yang terjadi kemudian, saling  menuding dan melempar kesalahan di antara pusat, propinsi, dan daerah.  Pusat menyalahkan propinsi, propinsi menyalahkan kabupaten. Presiden  menyalahkan Gubernur, gubernur menyalahkan Bupati. Semuanya saling  melempar tanggung jawab tentang kondisi perbatasan yang sangat  memprihatinkan sebagai “penyuluh” munculnya ancaman Kades tersebut.
Kepolisian dan TNI mengambil tindakan  tegas: “akan menindak, jika ada warga yang berani mengibarkan bendera  Malaysia di wilayah perbatasan pada HUT Kemerdekaan RI nanti, karena  tugas mereka memastikan bahwa NKRI masih sebuah harga mati.
Pertanyaan autokritik bagi pemerintah  adalah: “mengapa rakyat di perbatasan mulai berani mengeluarkan ancaman  separatis? Bukan tanpa dasar, jika Yusak, yang mewakili suara hati  masyarakat perbatasan sampai nekat memaklumatkan ancaman tersebut justru  menjelang perayaan HUT Kemerdekaan. Karena bagi masyarakat perbatasan,  apalah arti kemerdekaan itu, jika mereka masih belum mengecap  kemerdekaan itu dalam arti yang sebenarnya? Ketika jalan ke tempat  mereka masih seperti sebuah kubangan kerbau di musim hujan;  jika  fasilitas kesehatan belum memadai dan harus jalan kaki berjam-jam,  berhari-hari, hanya untuk membeli obat; jika mereka bahkan belum merdeka  dari buta huruf karena minimnya bangunan sekolah dan guru; jika mereka  lebih mudah mendapatkan “ringgit” daripada “rupiah;” jika barang-barang  kebutuhan pokok dari Malaysia harganya jauh lebih terjangkau  dibandingkan barang-barang dari Indonesia?
Di sisi lain, mereka hidup di dalam  kawasan dengan Sumber Daya Alam yang kaya. Pertanyaan mereka sederhana:  “ke mana dan untuk apa semua kekayaan alam dari pulau mereka?” Mereka  hidup di dalam kolam susu, tetapi hanya menikmati ampasnya saja.
Rasa ketidakadilan terhadap  pemerintahlah, yang “seolah-olah” atau mungkin saja “disengaja” telah  menganatirikan mereka sejak kemerdekaan dari belenggu penjajah pada  tahun 1945 sampai dengan hari ini, yang memicu munculnya suara-suara  ancaman separatis.
Tidak cukup dengan tindakan reaktif  apalagi represif kepada Yusak, atau rakyat mana pun di perbatasan yang  mengancam seperti itu. Sebab selama ini pemerintah Indonesia ke mana?  Berbuat apa terhadap mereka? Temukan akarnya yakni dengan tindakan  menyembuhkan akarnya berupa perhatian, pembangunan infrastruktur,  pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dll, terlebih dahulu dan dengan  sendirinya suara-suara ancaman itu akan berhenti bahkan tidak menjadi  sebuah kenyataan. Mengapa? Karena sesungguhnya “rasa nasionalisme  masyarakat di perbatasan masih sangat kuat, dan NKRI bagi mereka, masih  sebuah harga mati. Yang mereka tuntut hanyalah “kemerdekaan mereka  bertahun-tahun dari belenggu penjajah harus juga bisa dikecap melalui  perhatian pemerintah pusat, propinsi, maupun daerah bagi wilayah mereka.
Fajar
Sumber: kompasiana.com
