Presiden pertama RI, Ir. Soekarno (http://dedibnj.blogspot.com/2011/07/bung-karno-persetan-dengan-pbb.html)
Ditulis oleh Della Anna
Birokrasi pemerintahan kita banyak dilanda kasus, dan kasus yang spetakuler saat ini adalah Kasus Anggaran yang menimpa kelompok elite Partai Demokrat, partai yang berkuasa saat ini.
Nazaruddin, dianggap kunci dari skandal suap yang melanda negeri ini. Banyak para pejabat panas kaki dibuatnya, lari sana sini dan siap menyangkal. Skenario dan konspirasi adalah dugaan publik sampai detik ini untuk kasus yang menimpa Bendum Partai Demokrat dan anggota DPR RI ini.
Inilah mental-mental tempe yang menimpa bangsa tempe.
Kalau saja Bung Karno masih  hidup, pasti beliau akan terhenyak melihat ucapannya yang ternyata  benar-benar menimpa bangsanya. Bahwa bangsanya ini ternyata memang “bangsa tempe,” yang senang makan tempe, juga memiliki “mental tempe.”Ini yang lebih sensitive. Dikatakan memiliki mental tempe berarti mental yang rawan.
Kami menggoyangkan langit, menggempakan  darat, menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya  dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan  bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita (Soekarno quotes).
Tempe adalah menu makanan yang merakyat, dari  orang kaya sampai gembelpun bisa menikmati menu tempe. Kecuali tempe  kaya akan gizi yang tinggi juga sehat daripada menu daging sapi tiap  hari.
Masih ingat berapa persen kandungan protein dari  kacang kedelai? sangat tinggi dan cukup membuat otot-otot memperoleh  energi untuk bekerja lebih giat lagi. Untuk tetap berteriak MERDEKA!
Ucapan Bung Karno ini memang cocok untuk rakyat China, yang cinta kerja keras. Sejengkal tanah pun menjadi uang. Bahkan  manusia saja bisa diubah menjadi sumber devisa negara. Manusia bekerja  bukan karena kerja paksa atau rodi, tetapi memang manusia cinta kerja  dan negara memberi kesempatan itu. Pintar memang China mengolah filosofi  ini.
Mungkin ucapan penuh kata kiasan kita perlukan ketika itu. Untuk  membakar semangat nasionalis kebangsaan yang baru saja lepas dari  tindihan para penjajah, para menak jinggo, para sekutu yang semuanya  tergila-gila dengan SDA dari tanah pertiwi ini. Ucapan patriotis untuk  membakar semangat  untuk jangan cepat menyerah, karena saat itu  Indonesia baru saja merdeka dan harus membereskan negerinya sendiri dari  sisa-sisa feodalisme.
Esok, tepat kita melangkah ke  masa  66 tahun Indonesia Merdeka. Apakah kita telah berkembang dan semakin kuat? 
Ternyata kita masih memiliki  akar yang lemah, semangat nasionalis kita masih retan. Rasa  kenasionalisan kita masih diselimuti bayang-bayang kolonialisme, yaitu  pengelompokkan kepentingan-kepentingan. Stelsel atau struktur sistem birokrasi kita masih kental dengan manipulasi. Sulit melepaskan diri dari pengaruh feodalisme.
RI mengalami shocking perubahan kebudayaan berpolitik
Kita mengalami shocking kebudayaan berpolitik. Landasan mengolah dan menyelenggarakan negara dan rakyat ini hanya dua, yaitu Pancasila dan UUD tahun 1945. 
Tetapi, anda boleh percaya  saya atau tidak, akan saya tulis. Bahwa dalam penerapan struktur  birokrasi pemerintahan ternyata kedua element di atas sering dianggap  menjadi hambatan. Kita membuat pemakluman sendiri, sehingga tak heran  implementasinya menjadi tidak jelas.
Iklim berpolitik kita  mengalami perubahan besar-besaran ketika rezim Orba tumbang. Dan tahun  1998 adalah tonggak bersejarah dimana RI mengalami pergulatan perubahan  cara berpolitik, berpikir dan membentuk struktur birokrasi yang  transparan dan lurus.
Terus terang tindakan terburu-buru ini sebenarnya banyak ruginya. 
Banyak produk peraturan dan perundang-undangan era Reformasi yang justru kalau diperhatikan masih meniru pola cara berpikir rezim Orba, hanya  saja dalam pakaian yang baru, sementara pemikiran sudah kita  aklamasikan ke arah Reformasi. Tidak sinkron akhirnya. Terlihat  peraturan dan undang-undang dibuat sangat terburu-buru dan tidak siap. Salah satunya adalah Undang-Undang Otonomi Daerah dan Undang-undang Otonomi Khusus. Oleh karena memang tujuan Reformasi yang utama adalah mengendalikan sistem Hamkamnas pasca tumbangnya Orba.
Banyak pengamat politik  menyatakan bahwa peraturan dan undang-undang baru produk era Reformasi  sangat tidak komprehensif, karena tidak melalui penelitian segi  Geografis kepulauan dan segi Ethnis kebudayaan masyarakat.
Kita memang  masuk dalam masa krisis, itu harus kita akui. Kita masih mencari bentuk  atau model yang tepat, itupun kita harus akui, yang sesuai dengan  perubahan global dunia baik dari segi perekonomian, sosial dan  tekhnologi. Tetapi tentunya harus ada batas waktu sebagai tonggak ukuran  kita, karena bagaimanapun kita berpacu dengan pesatnya pertumbuhan  ekonomi dan tekhnologi global dunia.
Kita memang mengalami perubahan yang sangat besar. Secara kasat mata, kita mengalami krisis radikalisasi.
Berat  sekali memang tantangan Reformasi, karena suka atau tidak, kita harus  menjalankan peraturan yang dicoba untuk diadaptasikan dengan iklim  Reformasi.
Radikalisasi bukan hanya  pada sistem pemerintahan saja, tetapi juga sistem sosial. Perangkat  peraturan yang kita ciptakan masih mengandung nilai-nilai frustasi  karena adanya tekanan-tekanan moralitas dari perbedaan-perbedaan  nilai-nilai.
Shocking dalam perubahan budaya politik ini ternyata menghantam moralitas para pejabat pemerintah, seperti;
>  Berkembangnya “Dualisme management.”
Sekilas maksud ini mengandung  makna positip. Karena dalam masa krisis kita mengalami perubahan  moralitas, management birokrasi menjadi ragu-ragu. Sehingga perlu  “memasang filter.” Tetapi akhirnya menjadi fatal, karena dari kondisi  ini timbul marak “Corrupted Information.”
Bisa kita lihat dalam praktek  hari-hari, sering terjadi informasi dari institusi yang saling bentrok.  Akhirnya komentar pejabat “Nanti saya check dulu.” Ini bukan jawaban  diplomatis tetapi secara psikologis untuk melindungi diri agar tidak  terjebak. Namun ada saja yang berani melawan arus, seperti Ruhut  Sitompul yang terkenal berani.
>  Peraturan dan Undang-undang.
Banyak peraturan dan  undang-undang produk era Reformasi dibentuk dengan tidak komprehensif,  karena minim perangkat survey. Mungkin maksud tim pembentuk  undang-undang menempuh jalan yang paling murah dan cepat, karena situasi  memang membutuhkan cepat. Namun dalam jangka panjang peraturan dan  undang-undang justru saling tindih, karena melupakan faktor geografis  dan ethnologis. Padahgal kedua perangkat ini penting sekali untuk  kelancaran sebuah Undang-undang Otonomi Daerah dan Undang-undang Otonomi  Khusus. Dalam praktek ternyata kedua undang-undang ini sering mendapat  hambatan dengan undang-undang dari pusat.
>  Morality dari para pejabat. 
Terus terang kita tidak boleh malu mengakui hal ini.
Pejabat  kita masih menyandang moral feodal – Asal Bapak Senang/ABS. Masalah ini  memang penghambat jalannya struktur birokrasi. Maka tidak heran, rakyat  menikmati tayangan kasus perkasus manipulasi kewenangan dan anggaran. Lembaga  peradilan retan rongrongan korupsi dan pengaruh kekuasaan. Jadi istilah  institusi yang independen dan non partisant sangat semu.
Indonesia kearah yang lebih baik?
Langkah ini dapat kita tempuh, kalau saja seluruh lembaga pemerintah mendukung;
a.  Diperlukan keberanian  melaksanakan birokrasi yang transparan lewat ICT (Information and  Communication Technology). Ini merupakan suatu filosofi system untuk  menggerakkan TED (The Economic Development).
Bisa diterapkan pada departemen atau lembaga yang berhubungan langsung dengan kepentingan publik, seperti Dirjen Pajak, Depnakertrans,  Imigrasi, DepSos, DepKes, BNP2TKI, kepolisian, kejaksaan.  Lembaga-lembaga ini bisa menerapkan ICT. Negara lain telah menerapkan  sistem ini untuk menekan KKN dan meningkatkan pelayanan umum yang baik.
b. Dengan ICT  maka diharapkan praktek-praktek KKN yang begitu marak dan mendapat  sorotan tajam pers luar negeri, dan juga beban rakyat dalam keikut  sertaan pada pemerintahan  minimal bisa ditekan.
Apakah kita masih mau memelihara mental tempe kita? Kalau masih, maka  memang situasi negeri ini sangat menakutkan. Oleh karena untuk  membersihkan birokrasi dari KKN memang akan membuat kita menjadi  frustasi, tidak tahu lagi mau mulai dari mana.
Dengan kasus Nazaruddin ini saja  sudah membuktikan, bahwa memang birokrasi carut marut kita memiliki  mental tempe. Penuh dengan jamur yang membuat busuk institusi.
Bagaimana dengan anda? silahkan makan tempe, sebab tempe itu sehat. Tapi jangan sampai mentalnya berubah menjadi mental tempe.
Berjaya kita maju, bercerai kita jatuh. 
Selamat menyongsong Hari kemerdekaan RI ke- 66 tahun
M E R D E K A !
Della Anna
Sumber: www.kompasiana.com
